Kebijakan pemerintah dalam program pengobatan malaria saat ini tidak lagi menggunakan obat tunggal seperti klorokuin, tapi menggunakan obat kombinasi yang dapat diperoleh di Dinas Kesehatan dan Puskesmas secara gratis.
"Tidak lagi menggunakan obat tunggal seperti klorokuin tapi harus kombinasi untuk mengobati malaria. Obat yang digunakan adalah `Artemisinin Combination Therapy (ACT)," demikian Kepala Pusat Komunikasi Publik Kementrian Kesehatan Drg. Tritarayati, dalam siaran pers yang diterima, di Jakarta, Selasa.
Hal tersebut dikemukakan menanggapi berita Obat Malaria di Pasaran Tidak Ampuh Lagi di Gorontalo, pada Senin 24 Mei 2010.
Dalam berita tersebut disampaikan Dinas Kesehatan (Dikes) Kabupaten Gorontalo mengakui bahwa obat malaria yang saat ini beredar di pasaran tidak ampuh lagi menyembuhkan penyakit tersebut.
Menurut Kepala Bidang Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Dikes Kabupaten Gorontalo, Suhartono, saat ini perkembangan penyakit malaria terus meningkat.
Tritarayati mengatakan, sejak 2008 kebijakan program pengobatan malaria tidak menggunakan obat tunggal seperti klorokuin tetap menggunakan obat kombinasi ACT untuk semua jenis plasmodium sesuai dengan keputusan Menkes.
Pada 2008 obat ACT telah digunakan untuk semua jenis plasmodium, yang sesuai dengan buku Pedoman Penatalaksanaan Kasus Malaria 2008.
Perubahan kebijakan penatalaksanaan kasus malaria didasarkan, pada 1973 telah ditemukan kasus resestensi klorokuin terhadap "P.falciparum" di Kalimantan Timur.
Pada 1990 kasus resestensi terhadap klorokuin dilaporkan terjadi di seluruh provinsi di Indonesia, selain itu juga dilaporkan adanya resistensi "P.falciparum" terhadap "Sulfadoksin-Pirimetamin" (SP) di beberapa tempat di Indonesia.
Berdasarkan kasus itu, katanya, kebijakan program pengobatan malaria harus menggunakan ACT tidak lagi dengan cara obat tunggal seperti klorokuin
"Tidak lagi menggunakan obat tunggal seperti klorokuin tapi harus kombinasi untuk mengobati malaria. Obat yang digunakan adalah `Artemisinin Combination Therapy (ACT)," demikian Kepala Pusat Komunikasi Publik Kementrian Kesehatan Drg. Tritarayati, dalam siaran pers yang diterima, di Jakarta, Selasa.
Hal tersebut dikemukakan menanggapi berita Obat Malaria di Pasaran Tidak Ampuh Lagi di Gorontalo, pada Senin 24 Mei 2010.
Dalam berita tersebut disampaikan Dinas Kesehatan (Dikes) Kabupaten Gorontalo mengakui bahwa obat malaria yang saat ini beredar di pasaran tidak ampuh lagi menyembuhkan penyakit tersebut.
Menurut Kepala Bidang Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Dikes Kabupaten Gorontalo, Suhartono, saat ini perkembangan penyakit malaria terus meningkat.
Tritarayati mengatakan, sejak 2008 kebijakan program pengobatan malaria tidak menggunakan obat tunggal seperti klorokuin tetap menggunakan obat kombinasi ACT untuk semua jenis plasmodium sesuai dengan keputusan Menkes.
Pada 2008 obat ACT telah digunakan untuk semua jenis plasmodium, yang sesuai dengan buku Pedoman Penatalaksanaan Kasus Malaria 2008.
Perubahan kebijakan penatalaksanaan kasus malaria didasarkan, pada 1973 telah ditemukan kasus resestensi klorokuin terhadap "P.falciparum" di Kalimantan Timur.
Pada 1990 kasus resestensi terhadap klorokuin dilaporkan terjadi di seluruh provinsi di Indonesia, selain itu juga dilaporkan adanya resistensi "P.falciparum" terhadap "Sulfadoksin-Pirimetamin" (SP) di beberapa tempat di Indonesia.
Berdasarkan kasus itu, katanya, kebijakan program pengobatan malaria harus menggunakan ACT tidak lagi dengan cara obat tunggal seperti klorokuin
Sumber : Jakarta (ANTARA News) -
No comments:
Post a Comment