Tuesday, March 8, 2011

Seputar penyakit pneumonia

Bahaya pneumonia kerap dipandang sebelah mata. Barangkali karena penyakit ini lebih sering mendompleng ketenaran “wabah rakyat” bernama influenza, hingga serangannya dianggap biasa. Apalagi kata teori, yang berisiko kematian terbatas pada kelompok balita dan lansia. Padahal, semua orang punya kans tergolek tak berdaya. Faktornya tak cuma umur, tapi juga gaya hidup dan “tabungan” penyakit masing-masing individu.

Salah satu indikasi masih dianggap entengnya pneumonia adalah kurang lakunya vaksin khusus penyakit ini. Dr. Iris Rengganis dari Subbagian Alergi dan Imunologi Klinik FKUI Jakarta mengungkapkan, rendahnya kesadaran membuat perisai diri ini boleh jadi karena banyak anggota masyarakat belum mengerti bahayanya. “Banyak juga yang enggan divaksin lantaran yakin tidak bakal menjadi sasaran serangan,” imbuh wanita berkacamata ini.

“Kalau saja mereka tahu pneumonia penyebab kematian ketiga terbesar setelah kardiovaskuler dan tuberklosis, mungkin ceritanya jadi lain,” tambah dr. Erwanto Budi dari institusi yang sama. Data di RSUPN Cipto Mangunkusumo (RSCM) menunjukkan, pasien rawat inap karena pneumonia makin lama kian meningkat. Cukup mengejutkan, 50% dari mereka yang masuk bangsal tak tertolong jiwanya.

Gampang-gampang susah
Kalangan dokter lazimnya menyederhanakan pneumonia sebagai penyakit infeksi saluran paru-paru. Bakteri penyebabnya bisa beragam, namun yang paling sering ditemui di Indonesia, paling tidak di RSCM adalah Streptococus pneumoniae. Untuk mengenali gejalanya, mudah-mudah susah. Dibilang mudah, lantaran efeknya di badan gampang dirasakan, seperti demam, sesak napas (bisa sampai 20 - 30 kali per menit), serta batuk yang diiringi lendir berwarna hijau atau warna karat.

Lantas, di mana susahnya? Nah, kalau diperhatikan, gejala-gejala tadi mirip banget dengan ciri-ciri serangan influenza. Pneumonia memang sering dipicu oleh penyakit flu yang tidak sembuh-sembuh. Itu sebabnya banyak penderita yang tidak menyadari, flu yang bersarang di tubuhnya sebenarnya sudah masuk kategori pneumonia.

Untuk memastikan serangan pneumonia, harus ada pemeriksaan khusus, seperti rontgen paru-paru buat memastikan kadar lendir di saluran pernapasan. Setelah itu, perlu bantuan tes laboratorium untuk melihat apakah ada peningkatan jumlah sel darah putih. “Salah satu ciri pneumonia, jumlah sel darah putih meningkat secara signifikan. Dari kondisi normal 4.000 hingga 10.000 sel menjadi jauh di atas 10.000 sel,” urai Erwanto.

Selain perannya sebagai pembawa bakteri sekunder (menyerang tubuh dengan mendompleng penyakit lain), pneumonia juga bisa menyerang paru-paru secara langsung. Yang terakhir ini disebut peran primer.

Pasien balita atau lansia di atas 65 tahun masuk kategori berisiko tinggi jika mendapat serangan pneumonia. Tak hanya di negara-negara berkembang, di negara-negara maju pun angka kematian lansia akibat pneumonia rata-rata 40.000-an per tahun dari 2 - 3 juta kasus yang ditemukan. Sangat mengkhawatirkan!

Balita dan mereka yang berumur di atas 65 tahun memang mangsa empuk, terutama karena lemahnya daya tahan tubuh yang bersangkutan. Kondisi yang justru paling disukai dan pas buat progresivitas bakteri pneumonia. Tubuh manusia sebenarnya mempunyai imunitas bawaan. Menyitir Erwanto, ada dua jenis daya tahan atau imunitas dalam badan. Pertama, imunitas spesifik seperti respons batuk, yang secara alami merupakan upaya tubuh untuk mencegah terjadinya infeksi paru-paru.

Lemahnya respons ini bisa menyebabkan penumpukan sel radang dan cairan (dalam jumlah tertentu dibutuhkan untuk mematikan kuman) di paru-paru. Namun, saat konsentrasinya makin besar, malah mengganggu fungsi alat pernapasan, menyebabkan penderita sulit bernapas, karena tak tersisa cukup ruang untuk oksigen.

Sedangkan imunitas nonspesifik merujuk pada daya tahan yang dibuat sel-sel dalam badan, seperti lekosit, monosit, dan limfosit. Nah, kedua macam imunitas itu lazimnya bekerja bahu-membahu. Makin bertambahnya usia, kerja sel-sel dan respons spesifik tubuh makin berkurang. Jika salah satu dari mereka tak lagi berjalan sebagaimana mestinya, pertahanan tubuh jadi mudah bobol.

Pada lansia, kondisi ini diperparah dengan sulitnya mendeteksi gejala-gejala awal pneumonia, terutama demamnya. Alhasil, banyak pasien terlambat dibawa ke rumah sakit. Makin parah jika si pasien ternyata tak hanya mengidap pneumonia, tapi juga penyakit lain yang tak kalah berbahaya, seperti jantung atau asma.

Hanya dalam beberapa hari, pneumonia bisa menyebabkan gagal napas, nyawa pun tak terselamatkan.

No comments:

Post a Comment