Penyakit malaria yang disebabkan oleh Plasmodium spp, ditularkan oleh nyamuk Anopheles spp, merupakan penyakit yang sangat ganas di Indonesia dan negara lainnya, khususnya di Asia dan Afrika. Peningkatan kasus serangannya meningkat dari waktu ke waktu karena sampai saat ini belum ditemukan vaksinnya. Di Indonesia, jumlah kasus yang terjadi pada tahun 1967 sebanyak 16.000 kasus malaria per juta penduduk menjadi 31.000 kasus malaria per juta penduduk pada tahun 2001.
Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa telah terjadi resistensi (kekebalan) pada Plasmodium (penyebab penyakit malaria) terhadap beberapa obat, di antaranya terhadap quinine yang berasal dari tanaman kina yang telah digunakan lebih dari 20 tahun di Indonesia. Artemisia annua L, dengan kandungan utamanya artemisinin, merupakan tanaman subtropis yang berasal dari daerah China dan tersebar ke Vietnam dan Malaysia. Artemisia merupakan salah satu alternatif obat malaria yang telah digunakan di berbagai negara di dunia, terutama di Afrika dan Asia.
Hasil penelitian tahun 1972 di China telah menemukan bahwa Artemisia mengandung bahan aktif utama, yaitu artemisinin; dan bahan lainnya di antaranya artesunate dan artemether yang sangat efektif terhadap Plasmodium falciparum, yaitu penyebab penyakit malaria. Rasanya yang pahit sebagai akibat dari kandungan absinthin dan anabsinthin. Di alam hasil artemisinin bervariasi antara 0,1-1,8 persen. Di Vietnam kadar artemisinin dapat mencapai 0,5-0,9 persen.
Kandungan “Artemisinin”
Daun Artemisia mengandung sekitar 89 persen dari total artemisinin yang terkandung pada tanaman yang tersebar di 1/3 daun bagian atas (41,7 persen); 1/3 bagian tengah (25 persen) dan 1/3 bagian bawah (22,2 persen).
Pendapat lainnya mengatakan bahwa pada bunganya kandungan artemisinin cukup tinggi, bahkan dapat disetarakan dengan daun. Minyak atsirinya (essential oil) tersebar di 1/3 daun bagian atas (36 persen); 1/3 daun bagian tengah (47 persen) dan 1/3 daun bagian bawah (17 persen). Minyak atsirinya mengandung sedikitnya 40 komponen yang bersifat volatile (menguap) di mana salah satu komponen utamanya adalah thujone (70 persen).
Fungsi dari thujone salah satunya bersifat sebagai antioksidan, serta antimikroba dan antijamur. Dosis optimal artemisinin untuk mengobati penderita malaria adalah antara 50-70 mg per kg berat badan setiap hari yang dikonsumsi dua kali sehari, yang diberikan selama tiga hingga lima hari, terbukti efektif menanggulangi malaria.
Pemakaian herbal (diseduh seperti teh) dengan takaran 5-9 g herbal per liter air per hari yang dikonsumsi selama 7 hari menunjukkan kemanjurannya dalam menanggulangi pasien malaria dengan tingkat keberhasilan mencapai 74 persen. Suhu badan penderita malaria normal dalam waktu 72 jam (tiga hari).
Selain itu, WHO menekankan bahwa seseorang yang terkena malaria harus diobati secara tuntas. Sebab, tidak tuntasnya pengobatan merupakan salah satu penyebab terjadinya kekebalan pada penyakit malaria. Walaupun hingga saat ini belum dilaporkan adanya kekebalan terhadap artemisinin, hal ini perlu diantisipasi karena tidak mudah menemukan obat malaria lain apabila malaria pun telah kebal terhadap artemisinin.
Dampak negatif
Hingga saat ini dampak negatif dari penggunaan Artemisia sebagai obat malaria belum banyak ditemui. Meski demikian, artemisinin dapat meningkatkan produksi asam lambung sehingga perlu hati-hati bagi pasien penderita mag (gangguan pencernaan). Selain itu, penggunaannya juga sangat dilarang untuk wanita hamil karena salah satu sifat dari artemisinin adalah merangsang menstruasi sehingga dikhawatirkan dapat mengakibatkan keguguran.
No comments:
Post a Comment