Manifestasi epilepsi ternyata ada yang berbentuk ekspresi bengong, bibir bergerak-gerak tanpa disadari, serta kesulitan bicara sesaat. Bahkan, emosi tinggi pada wanita haid bisa jadi gejala epilepsi catamenial.
Lyna Soertidewi dari Departemen Ilmu Penyakit Saraf, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, menjelaskan, epilepsi adalah gangguan pada kelistrikan otak yang menyebabkan bangkitan atau kejang lebih dari satu kali dalam enam bulan.
Kelistrikan pada otak dan sistem saraf makhluk hidup, termasuk manusia, berperan dalam mengantarkan pesan atau perintah bagi tubuh. Saat neurotransmiter (saraf pengantar) terganggu, aliran listrik menjadi berloncatan. Respons tubuh adalah kejang-kejang.
Gangguan ini bisa mengenai siapa saja dan kapan saja. Tidak hanya bawaan lahir, epilepsi juga bisa terjadi akibat benturan, stroke, dan infeksi pada otak.
Trauma pada kepala membuat otak berusaha memperbaiki. Namun, kadang-kadang yang terjadi koneksi saraf menjadi abnormal dan kerja sel-sel saraf terganggu.
Organ otak yang memiliki sekitar 100 miliar sel-sel saraf berfungsi sebagai pemimpin, memberikan perintah terkait segala aktivitas tubuh, seperti aktivitas ingatan, gerakan, indera, dan suasana hati. Jika otak terganggu, hal-hal itu pasti terpengaruh. Bahkan, bangkitan berupa kejang-kejang selama 15-30 menit bisa berakibat fatal karena tubuh bekerja ekstra keras dengan kondisi minim oksigen.
Selain epilepsi yang bermanifestasi dalam bentuk kejang-kejang (tonik klonik), ada bentuk manifestasi lain, seperti bengong (beberapa detik), atonik (reaksi terjatuh karena otot melemas), dan mioklonik (kontraksi otot tiba-tiba). Bengong epilepsi dengan bengong biasa bisa dibedakan dengan memanggil penderita.
”Kalau ditepuk atau dipanggil tidak merespons, berarti bukan bengong biasa. Bisa jadi itu childhood absence (bengong epilepsi pada anak),” kata pengajar pada Departemen Ilmu Penyakit Anak Universitas Indonesia, Hardiono D Pusponegoro.
Jika ragu, bisa menguji secara sederhana, yaitu minta orang yang kita curigai meniup selembar kertas sebanyak 30 kali. Penderita epilepsi pasti langsung bengong tanpa sadar selama beberapa waktu.
”Potensi untuk mengidap epilepsi dapat terjadi sejak masa kehamilan. Gangguan yang dialami ibu pada masa kehamilan, seperti infeksi, demam tinggi, dan kekurangan nutrisi berpengaruh pada kerentanan bayi terhadap kejang. Selain itu, proses persalinan yang sulit, kurang, atau telat bulan menyebabkan otak janin kekurangan oksigen,” kata Hardiono.
Ada pula bentuk epilepsi parsial. Penderita merasa mual atau tidak enak di ulu hati, atau merasa ketakutan/cemas. Epilepsi jenis ini relatif tak terlalu tampak, tetapi jika tidak dirawat bisa berkembang menjadi epilepsi umum.
Untuk menegakkan diagnosis epilepsi, dilakukan tes neurologi dan tingkah laku, tes darah, serta mengecek kondisi otak dengan CT-scan, MRI, atau elektroensefalogram (EEG). Melalui EEG, bisa diketahui konsistensi kelistrikan tubuh.
Pusat Data dan Informasi Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia menyebutkan, pada 2006, penderita epilepsi berjumlah 1 juta hingga 1,5 juta orang. Dari jumlah itu, 70 persen dapat disembuhkan dengan pengobatan teratur.
Pemberian obat bertujuan mengendalikan bangkitan, serangan, atau korsleting listrik di otak. Terapi obat ini bisa berlangsung bertahun-tahun. Jika tak lagi muncul bangkitan, dengan pengawasan dokter, selama dua atau tiga tahun kemudian pemberian obat bisa dikurangi. Untuk menghentikan pemberian obat, dokter membutuhkan data dan dasar yang kuat bahwa kelistrikan otak telah normal. Hal ini bisa didapatkan melalui tes EEG.
Prosedur berlapis ini dilakukan mengingat pengurangan obat atau penghentian obat yang tidak tepat bisa memperburuk kondisi pasien. ”Pemberian obat tidak boleh berhenti mendadak, harus pelan-pelan dikurangi agar tidak berakibat serius,” kata Hardiono.
Perempuan penderita epilepsi yang sedang hamil sering kali menghentikan obat epilepsi. Karena asupan obat berhenti mendadak, ibu bisa kejang-kejang dan berdampak fatal bagi nyawa dan bayinya.
Meski penyakit ini telah dikenal lama dan merupakan penyakit akibat gangguan sistem saraf otak, masih banyak stigma negatif dan diskriminasi kepada penderitanya. Hal tersebut diungkapkan Ketua Umum Yayasan Epilepsi Indonesia Irawati Hawari.
Di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia, masih ada stigma negatif mengenai penyakit itu sehingga status penyakit sering disembunyikan. Padahal, dampaknya malah bisa memperburuk kondisi penderita.
Jika ditemukan lebih dini dan ditangani lebih cepat, potensi penderita epilepsi untuk sembuh lebih besar.
No comments:
Post a Comment