Tuesday, November 15, 2011

Kebanyakan Pria Malas Obati Problem Seksual


Kebanyakan Pria Malas Obati Problem Seksual - Data menunjukkan, hampir 10 persen pria dewasa mengalami disfungsi seksual seperti impotensi atau pun ejakulasi dini. Kondisi ini semakin parah karena kesadaran kaum Adam untuk berobat justru masih sangat rendah.

Redahnya kesadaran pria untuk berobat juga terjadi di Indonesia. Hal itu setidaknya tercermin dari data yang dimiliki On Clinic Indonesia.

Menurut General Manager On Clinic Indonesia Fithrie Firdaus, berdasarkan data yang ada, sejauh baru ini pihaknya telah menangani sekitar 180.000 pasien dengan problem disfungsi seksual, baik disfungsi ereksi (impotensi) maupun ejakulasi dini. Angka tersebut, menurutnya masih jauh lebih kecil dibandingkan jumlah pria yang tidak mendapatkan pengobatan.

"Masih ada jutaan pasien dengan disfungsi seksual yang tidak mendapat pengobatan, apakah itu impotensi dan ejakulasi. Yang kita takutkan adalah, pasien-pasien ini berobat di pinggir-pinggir jalan atau tempat-tempat yang tidak bisa dipertanggungjawabkan secara medis," katanya saat acara seminar Disfungsi Seksual Pria dan Wanita di Jakarta Sabtu, (13/12/2011).

Fithrie menjelaskan, secara umum ada beberapa alasan yang menyebabkan pria malas pergi berobat.Pertama, pasien-pasien dengan disfungsi seksual terutama di Indonesia menganggap kondisi ini bukan suatu yang prioritas.

"Karena tanpa berobat pun dia bisa jalan-jalan diluar seperti orang sehat. Karena yang tahu cuma dia dan pasangannya," katanya.

Kedua, karena si istri tidak pernah berani komplain. Fithrie menilai, istri orang Indonesia cenderung menerima keadaan (pasrah). Tetapi untuk generasi sekarang, para perempuan tidak lagi berpikir seperti itu. Pasalnya, kenikmatan seksual harus menjadi hak bersama.

"Sebuah penelitian di Inggris dan Amerika menunjukkan, sekitar 25 persen perceraian dan perselingkuhan umumnya terjadi karena hubungan seks tidak berjalan baik dan karena masalah disfungsi ereksi," tambahnya.

Di beberapa negara maju, lanjut Fithrie, persoalan disfungsi seksual sudah dianggap sebagai problem sosial, dan bukan lagi permasalahan individu saja. Oleh karena itu, segala macam kondisi terkait disfungsi seksual telah dicover oleh asuransi. Sedangkan di Indonesia, pemerintah masih menganggap bahwa persoalan disfungsi seksual sebagai masalah kosmetik.

"Paling baru-baru sekarang saja pemerintah membicarakan disfungsi seksual. Karena dulu dianggap tabu. Padahal sebenarnya ini masalah cukup besar," cetusnya.

Sementara itu, Prof. Jack Vaisman pendiri On Clinic Internasional mengatakan, patofisiologi penyebab disfungsi seksual secara garis besar dibagi dua yakni akibat masalah psikologis dan fisik (organik).

Penelitian terdahulu menunjukkan, masalah psikologis seseorang sangat mempengaruhi munculnya masalah disfungsi seksual sebesar 70-80 persen. Sedangkan sisanya sebesar 20 persen disebabkan karena masalah fisik.

Akan tetapi, lanjut Vaisman, sebuah penelitian terbaru pada awal 1980-an sampai sekarang menyimpulkan bahwa penyebab utama masalah disfungsi seksual adalah 80 persen disebabkan faktor fisik (organik), sedangkan 20 persen disebabkan faktor psikis.

"Penyebabnya multifaktorial. Dan yang paling utama penyebabnya adalah karena adanya penyakit penyerta seperti diabetes, kolesterol, hipertensi, gaya hidup (merokok dan alkohol, narkoba). Kita memang fokus pada masalah fisik. Karena psikis itu otomatis akan baik dengan sendirinya kalau masalah fisiknya sudah dapat diobati. Masalah psikis biasanya temporer," jelasnya.

Masyarakat, kata Fithrie, harus memeroleh informasi yang benar dan tepat mengenai pengobatan terkait makin banyaknya pihak-pihak tidak bertanggung jawab yang menawarkan produk-produk ilegal terkait disfungsi ereksi.

"Kita sebagai masyarakat harus cerdas untuk bisa memilih pengobatan mana yang bisa dipertanggung jawabkan secara medis. Kalau tidak ada ijin penjualan dan registrasi maka tidak boleh menjual," katanya.

Fithrie menilai, banyaknya obat-obatan ilegal yang dijual bebas di pinggir jalan menunjukkan bahwa penegakan hukum di Indonesia masih sangat lemah. Hal ini tentunya akan sangat merugikan dan menjadi ancaman berbahaya bagi masalah kesehatan masyarakat. 

"Secara jujur, banyak sekali industri jamu kita yang bilang itu obat kuat dan herbal. Tetapi isinya ternyata viagra dengan dosis 300 mg. Padahal dosis maksimal viagra hanya 100 mg. Di sinilah masyarakat harus cerdas," tutupnya.
kompas.com

No comments:

Post a Comment