Wednesday, May 22, 2013

Penyakit Kulit Impetigo Krustosa

Impetigo merupakan infeksi kulit yang umum dijumpai pada anak. Penyebab yang utama untuk penyakit ini adalah Staphylococcus Aureus atau Streptococcus ataupun paduan dari keduanya. Ada dua tipe impetigo, yaitu impetigo bullosa dan impetigo non-bullosa. Impetigo non-bullosa disebut juga impetigo krustosa atau impetigo kontagiosa.

Insiden impetigo ini terjadi hampir di seluruh dunia dan pada umumnya menyebar melalui kontak langsung. Paling sering menyerang anak-anak usia 2-5 tahun, namun tidak menutup kemungkinan untuk semua umur dimana frekuensi laki-laki dan wanita sama. Sebuah penelitian di Inggris menyebutkan bahwa insiden tahunan dari impetigo adalah 2.8 % terjadi pada anak-anak usia di bawah 4 tahun dan 1.6 persen pada anak-anak usia 5 sampai 15 tahun. Impetigo nonbullous atau impetigo krustosa meliputi kira kira 70 persen dari semua kasus impetigo.
Organisme penyebab dari impetigo krustosa adalah Streptococcus beta hemolyticus grup A (Group A betahemolytic streptococci (GABHS) yang juga diketahui dengan nama Streptococcus pyogenes).
Pada impetigo krustosa, diketahui adanya keterlibatan sistem imun terhadap perlawanan terhadap infeksi berbeda halnya dengan infeksi pada impetigo bulosa dimana gejala klinis yang muncul adalah karena toksin yang dihasilkan oleh bakteri penyebab.
Penyakit ini biasanya ditandai dengan lesi awal berbentuk makula eritem yang berubah dengan cepat menjadi vesikel berisi cairan bening atau pustul yang cepat memecah, bila mengering akan mengeras membentuk krusta yang melekat di kulit dengan warna menyerupai kuning madu. Biasanay gatal dan jika krusta diangkat diangkat maka tampak erosi dibawahnya.

Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesa dan gambaran klinis dari lesi. Kultur dilakukan bila terdapat kegagalan pengobatan dengan terapi standar, biopsy jarang dilakukan. Biasanya diagnose dari impetigo dapat dilakukan tanpa adanya tes laboratorium. Namun demikian, apabila diagnosis tersebut masih dipertanyakan, tes mikrobiologi pasti akan sangat menolong.

• Laboratorium rutin
Pada pemeriksaan darah rutin, lekositosis ringan hanya ditemukan pada 50% kasus pasien dengan impetigo. Pemeriksaan urinalisis perlu dilakukan untuk mengetahui apakah telah terjadi glomerulonefritis akut pasca streptococcus (GNAPS), yang ditandai dengan hematuria dan proteinuria.
• Pemeriksaan imunologis
Pada impetigo yang disebabkan oleh streptococcus dapat ditemukan peningkatan kadar anti deoksiribonuklease (anti DNAse) B antibody.
• Pemeriksaan mikrobiologis
Eksudat yang diambil di bagian bawah krusta dan cairan yang berasal dari bulla dapat dikultur dan dilakukan tes sensititas. Hasil kultur bisa memperlihatkan S. pyogenes, S. aureus atau keduanya. Tes sensitivitas antibiotic dilakukan untuk mengisolasi metisilin resisten S. aureus (MRSA) serta membantu dalam pemberian antibiotik yang sesuai. Pewarnaan gram pada eksudat memberikan hasil gram positif.
Diagnosis banding dari jenis impetigo ini adalah :
• Dermatitis atopi
Lesi gatal yang bersifat kronik dan berulang, kering; pada orang dewasa dapat ditemukan likenifikasi pada daerah fleksor ekstremitas. Sedangkan pada anak sering berlokasi pada daerah wajah dan ekstremitas ekstensor.
• Dermatofitosis
Lesi kemerahan dan bersisik dengan bagian tepi yang aktif agak meninggi; dapat berbentuk vesikel, terutama berlokasi di kaki.
• Ektima
Lesi berkrusta yang menutupi ulkus, jarang berupa erosi; lesi menetap berminggu-minggu dan dapat sembuh dengan meyisakan jaringan perut jika infeksi meluas hingga ke dermis.
• Skabies
Lesi terdiri dari terowongan dan vesikel yang kecil; gatal pada daerah lesi saat malam hari merupakan gejala yang khas.
• Varisela
Vesikel berdinding tipis, ukuran kecil, pada daerah dasar yang eritem yang awalnya berlokasi di badan dan menyebar ke wajah dan ekstremitas; vesikel pecah dan membentuk krusta; lesi dengan tingkatan berbeda dapat muncul pada saat yang sama.
Penatalaksanaan impetigo terdiri atas penatalaksanaan umum yaitu
1. Memperbaiki higien dengan membiasakan membersihkan tubuh dengan sabun, memotong kuku dan senantiasa mengganti pakaian, 2. Perawatan luka
3. Tidak saling tukar menukar dalam menggunakan peralatan pribadi (handuk, pakaian, dan alat cukur) dan penatalaksanaan khusus berupa pemberian antibiotik topikal maupun sistemik.
Secara umum prognosis dari penyakit ini adalah baik jika dilakukan pengobatan yang teratur, meskipun dapat pula komplikasi sistemik seperti glomerulonefritis dan lain-lain. Lesi mengalami perbaikan setelah 7-10 hari pengobatan.

Laporan Kasus
Seorang laki-laki bangsa Indonesia, suku Jawa, umur 5 tahun, datang ke Instalasi Rawat Jalan RSUP. H. Adam Malik Medan pada tanggal 7 juni 2011 dengan keluhan adanya koreng-koreng dan lecet disertai rasa gatal pada daerah ketiak kiri, lengan kiri atas bagian dalam, dan sebagian dada kiri sejak 1 minggu yang lalu. 6 hari yang lalu sebelum datang ke rumah sakit, pasien mengeluh adanya gelembung kecil berisi cairan di daerah ketiaknya. 1 hari kemudian (5 hari sebelum datang ke rumah sakit), pasien mengatakan gelembung kecil berisi cairan sudah pecah dan tampak menjadi koreng-koreng yang gatal, tetapi tidak terlalu mengganggu. Pasien tidak tahu kapan gelembung kecil tersebut pecah. Oleh ayahnya, koreng tersebut diberi minyak kelapa, tetapi tidak membaik, malahan menjadi semakin banyak. Karena hal tersebut, ibu pasien memutuskan untuk membawa pasien berobat ke RSUP. H. Adam Malik.
Pada pemeriksaan fisik didapati keadaan umum tampak baik, kesadaran compos mentis, tekanan darah, frekuensi nadi, frekuensi pernafasan, dan suhu tubuh dalam batas normal. Gizi baik, konjungtiva tidak pucat, sklera tidak ikterik, tidak terdapat hepatosplenomegali dan pembesaran kelenjar getah bening.
Pada pemeriksaan status dermatologis, didapati krusta dan erosi di regio aksilaris sinistra dan regio brachii posterior sinistra. Pada regio deltopectoral sinistra dan dextra didapati adanya vesikel (Gambar 1)

Pasien kemudian didiagnosa banding dengan impetigo krustosa, ektima dan skabies.
Pasien selanjutnya diberikan terapi asam fusidat 2 % selama 7 hari sebagai antibitik topikal dan interhistin sirup 3 x 150 mg untuk mengurangi rasa gatal yang dialami.
Prognosis pada pasien ini adalah quo ad vitam dubia ad bonam, quo ad functionam dubia ad bonam, quo ad sanactionam dubia ad bonam.

Diskusi
Impetigo merupakan pioderma superfisialis yang terbatas pada epidermis. Impetigo terbagi atas 2 bentuk yaitu impetigo krustosa dan impetigo bulosa. Impetigo krustosa merupakan bentuk pioderma yang paling sederhana, menyerang epidermis dengan gambaran yang dominan ialah krusta. Organisme penyebab dari penyakit ini adalah Staphylococcus aureus dan Streptococcus beta hemolyticus. Tanda khas dari impetigo krustosa ini adalah lesi awal yang berbentuk macula eritem pada wajah, telinga maupun tangan yang berubah dengan cepat menjadi vesikel berisi cairan bening atau pustule yang cepat memecah dan membentuk krusta berwarna kuning madu dan umumnya terjadi pada anak-anak. Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan gambaran klini dari lesi. Penatalaksanaan dapat dilakukan dengan melakukan perawatan diri, pengobatan sistemik dan topikal.1,2,3,4,5

Pengenalan klinis dari impetigo krustosa tidaklah sulit karena biasanya memberikan gambaran yang khas dan umumnya terjadi pada anak. Pemeriksaan penunjang tidak perlu dilakukan untuk menegakkan diagnosa, akan tetapi dapat dilakukan pada pasien yang tidak respon setelah mendapat pengobatan, sehingga dapat dilakukan kultur dan tes sensitivitas. Pada pasien ini kami menjumpai adanya vesikel di daerah dada kiri dan kanan, pada daerah aksila juga dijumpai adanya krusta-krusta tebal yang berwarna agak kecoklatan serta erosi. Warna krusta pada pasien ini agak kecoklatan kemungkinan akibat pemberian minyak kelapa. Tempat predileksi dari impetigo umumnya dijumpai pada daeah mulut dan sekitar lubang hidung, akan tetapi pada pasien ini kita dapati daerah yang terkena terutama adalah daerah aksila. Berdasarkan beberapa literatur disebutkan bawha tempat predileksi dari impetigo krustosa adalah di daerah sekitar mulut dan lubang hidung, tetapi tidak menutup kemungkinan dijumpai ditempat lain, karena pada dasarnya penyakit ini bisa ditularkan ke seluruh daerah tubuh yang sering mengalami trauma sehingga fungsi perlindungan kulit terganggu.

Diagnosa ektima pada pasien ini disingkirkan karena pada ektima, krustanya menutupi ulkus dan biasanya dijumpai di tungkai bawah, sedangkan pada pasien ini tidak dijumpai adanya ulkus. Diagnosa scabies disingkirkan karena pada skabies biasanya lesinya berupa burrow, papul, vesikel, pustul, krusta, ataupun urtika. Biasanya lesinya tidak khas, selain itu lesinya gatal, terutama pada malam hari, sewaktu berkeringat ataupun pada udara panas. Pada anamnesa juga dijumpai adanya riwayat tinggal di asrama, atau tinggal di tempat yang padat dengan hygiene buruk dan sering memakai peralatan sehari-hari secara bersama-sama (seperti handuk, pakaian, tempat tidur, dan lainnya).

Pengobatan utama pada impetigo krustosa adalah pemberian antibiotik topikal. Pemberian antibiotik sistemik umumnya tidak dianjurkan kecuali lesi sangat luas. Dari beberapa literatur dikatakan antibiotik topikal yang paling baik diberikan pada impetigo krustosa adalah mupirocin 2% dan asam fusidat 2% selama tiga sampai lima hari. Pemberian basitrasin dan neomisin kurang efektif pada impetigo krustosa. Antibiotik sistemik yang dapat diberikan adalah amoksisilin/clavulanate (augmentin) 3 x 250-500 mg sehari selama 10 hari.




















































Daftar Pustaka


1. Mostwaledi M H. 2011. Impetigo in Children: A Clinical Guide and Treatment Options. S Afr Fam Pract. Volume 53(1): 44-46
2. Cole C, Gazewood J. 2007. Diagnosis and Treatment of Impetigo. American Family Physician. Volume 75(6): 859-864
3. Sladden M J, Johnston G A. 2004. Clinical Riview: Common Skin Infections in Children. BMJ. Volume 329: 95-99
4. Schellack N. 2011. Skin Rashes in Children. S Afr Pharm J. Volume 78(1): 13-22
5. Stulberg D L, Penrod M A, Blatny R A. 2002. Common Bacterial Skin Infections. American Family Physician. Volume 66(1): 119-124
6. Kocinaj A, Kocinaj D, Berisha M. 2009. Skin Diseases Among Preschool Children. J Bacteriol Res. Volume 1(2): 25-29

No comments:

Post a Comment