Teori John Gordon mengemukakan bahwa timbulnya suatu penyakit sangat dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu bibit penyakit (agent), pejamu (host), dan lingkungan (environment)
1. Agen atau kuman
Agent (A) adalah penyebab yang esensial yang harus ada, apabila penyakit timbul atau manifest, tetapi agent sendiri tidak sufficient/memenuhi/mencukupisyarat untuk menimbulkan penyakit. Agent memerlukan dukungan faktor penentu agar penyakit dapat manifest. Agent yang mempengaruhi penularan penyakit tuberkulosis adalah kuman Mycobacterium tuberculosis. Agent ini dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya pathogenitas, infektifitas dan virulensi. Pathogenitas adalah daya suatu mikroorganisme
untuk menimbulkan penyakit pada host. Pathogenitas kuman tuberkulosis paru termasuk pada tingkat rendah. Infektifitas adalah kemampuan mikroba untuk masuk ke dalam tubuh host dan berkembangbiak di dalamnya. Berdasarkan sumber yang sama infektifitas kuman tuberkulosis paru termasuk pada tingkat menengah. Virulensi adalah keganasan suatu mikroba bagi host. Berdasarkan sumber yang sama virulensi kuman tuberkulosis termasuk tingkat tinggi.
2. Penjamu atau penderita
Host atau pejamu adalah manusia atau hewan hidup, termasuk burung dan arthropoda yang dapat memberikan tempat tinggal dalam kondisi alam. Host untuk kuman tuberkulosis paru adalah manusia dan hewan, tetapi host yang dimaksud dalam pembahasan ini adalah manusia.
Beberapa faktor host yang mempengaruhi penularan penyakit tuberkulosis paru adalah :
1. Jenis kelamin
Dari catatan statistik meski tidak selamanya konsisten, mayoritas penderita tuberkulosis paru adalah wanita. Hal ini masih memerlukanpenyelidikan dan penelitian lebih lanjut, baik pada tingkat behavioural, tingkat kejiwaan, sistem pertahanan tubuh, maupun tingkat molekuler. Untuk sementara, diduga jenis kelamin wanita merupakan faktor risikoyang masih memerlukan evidence pada masing‐masing wilayah, sebagai dasar pengendalian atau dasar manajemen
2. Umur
Umur berperan dalam kejadian penyakit tuberkulosis paru. Risiko untuk mendapatkan tuberkulosis paru dapat dikatakan seperti halnya kurva normal terbalik, yakni tinggi ketika awalnya, menurun karena diatas 2 tahun hingga dewasa memliki daya tahan terhadap tuberkulosis paru dengan baik. Puncaknya tentu dewasa muda dan menurun kembali ketika seseorang atau kelompok menjelang usia tua.
3. Kondisi sosial ekonomi
WHO (2003) menyebutkan 90% penderita tuberkulosis paru di dunia menyerang kelompok dengan sosial ekonomi lemah atau miskin
4. Kekebalan.
Kekebalan dibagi menjadi dua macam, yaitu : kekebalan alamiah dan buatan. Kekebalan alamiah didapatkan apabila seseorang pernah menderita tuberkulosis paru dan secara alamiah tubuh membentuk antibodi, sedangkan kekebalan buatan diperoleh sewaktu seseorang diberivaksin BCG (Bacillis Calmette Guerin). Tetapi bila kekebalan tubuh lemah maka kuman tuberkulosis paru akan mudah menyebabkan penyakit tuberkulosis paru.
5. Status gizi
Apabila kualitas dan kuantitas gizi yang masuk dalam tubuh cukup akan berpengaruh pada daya tahan tubuh sehingga tubuh akan tahan terhadap infeksi kuman tuberkulosis paru. Namun apabila keadaan gizi buruk maka akan mengurangi daya tahan tubuh terhadap penyakit ini,karena kekurangan kalori dan protein serta kekurangan zat besi, dapat meningkatkan risiko tuberkulosis paru
6. Penyakit infeksi HIV
Infeksi HIV mengakibatkan kerusakan luas sitem daya tahan tubuh seluler (cellular immunity) sehingga jika terjadi infeksi oportunistik seperti tuberkulosis, maka yang bersangkutan akan menjadi sakit parah bahkan mengakibatkan kematian. Bila jumlah orang terinfeksi HIVmeningkat, maka jumlah penderita tuberkulosis paru akan meningkat,dengan demikian penularan tuberkulosis paru di masyarakat akan meningkat pula.
7. Kebiasaan Merokok Hubungannya Dengan Penyakit Tb paru
Asap rokok mengandung ribuan bahan kimia beracun dan bahan‐ bahan yang dapat menimbulkan kanker (karsinogen). Bahkan bahan berbahaya dan racun dalam rokok tidak hanya mengakibatkan gangguan kesehatan pada orang yang merokok, namun juga kepada orang disekitarnya yang tidak merokok, merokok dapat menyebabkan sistim imun di paru menjadi lemah sehingga mudah untuk perkembangan kuman mycobacterium.
8. Adanya Kontak Dengan Penderita TB
Orang yang berada di ruangan yang sama dengan orang batuk tersebut dan menghirup udara yang sama berisiko menghirup kuman tuberculosis,dan risiko paling tinggi adalah bagi mereka yang berada paling dekat dengan orang yang batuk. Kedua orang tua dapat berbahaya yang tinggal atau tidur di ruangan sempit.(Crofton,2002) Terjadinya pemaparan oleh kuman TB tersebut bias dimana saja antara lain didalam rumah, sekitar rumah, tempat‐tempat umum, seperti sekolah,pasar, rumah sakit, sarana angkutan umum, dan lainnya. Sehingga harus dilindungi dengan melakukan pengawasan sistematis pada individu, yang karena pekerjaannya berhubungan dengan orang lain.
9. Kebiasaan Menggunakan Peralatan Makan Penderita
10. Kebiasaan Tidur Bersama Dengan Penderita TB
11. Kurangnya pengetahuan dan pemahaman tentang penyakit, khusunya penyakit TBC.
3. lingkungan
Lingkungan Rumah yang Berpengaruh terhadap Kejadian TB
Pada umunya, lingkungan rumah yang buruk (tidak memenuhi syarat kesehatan) akan
berpengaruh pada penyebaran penyakit menular termasuk penyakit TB.
Berikut ini akan diuraikanmengenai lingkungan fisik dan sosial rumah yang berpengaruh pada kejadian TB.
1. Kelembaban Udara
Secara umum penilaian kelembaban dalam rumah dengan menggunakan hygrometer. Menurut indikator pengawasan perumahan, kelembaban udara yang memenuhi syarat kesehatan dalam rumah adalah 40‐60 % dan kelembaban udara yang tidak memenuhi syarat kesehatan adalah < 40 % atau > 60 % (Depkes RI, 1989). Rumah yang lembab merupakan media yang baik bagi pertumbuhan mikroorganisme.
Mikroorganisme tersebut dapat masuk ke dalam tubuh melalui udara. Selain itu kelembaban yang tinggi dapat menyebabkan membran mukosa hidung menjadi kering sehingga kurang efektif dalam menghadang mikroorganisme.
Bakteri mycobacterium tuberculosa seperti halnya bakteri lain, akan tumbuh dengan subur pada lingkungan dengan kelembaban tinggi karena air membentuk lebih dari 80 % volume sel bakteri dan merupakan hal yang essensial untuk pertumbuhan dan kelangsungan hidup sel bakteri (Gould & Brooker, 2003). Selain itu menurut Notoatmodjo (2003), kelembaban udara yang meningkat merupakan media yang baik untuk bakteri‐bakteri patogen termasuk bakteri tuberkulosis.
2. Ventilasi Rumah
Berdasarkan kejadiannya, maka ventilasi dapat dibagi ke dalam dua jenis, yaitu: Ventilasi alam dan ventilasi buatan
Persyaratan ventilasi yang baik adalah sebagai berikut:
1. Luas lubang ventilasi tetap minimal 5 % dari luas lantai ruangan, sedangkan luas lubang ventilasi insidentil (dapat dibuka dan ditutup) minimal 5 % dari luas lantai. Jumlah keduanya menjadi 10% dari luas lantai ruangan.
2. Udara yang masuk harus bersih, tidak dicemari asap dari sampah atau pabrik, knalpot kendaraan, debu dan lain‐lain.
3. Aliran udara diusahakan cross ventilation dengan menempatkan lubang ventilasi berhadapan antar dua dinding. Aliran udara ini jangan sampai terhalang oleh barangbarang besar, misalnya lemari, dinding, sekat dan lain‐lain. Secara umum, penilaian ventilasi rumah dengan cara membandingkan antara luas ventilasi dan luas lantai rumah, dengan menggunakan Role meter. Menurut indikator pengawaan rumah, luas ventilasi yang memenuhi syarat kesehatan adalah 10% luas lantai rumah dan luas ventilasi yang tidak memenuhi syarat kesehatan adalah < 10% luas lantai rumah.
Luas ventilasi rumah yang < 10 % dari luas lantai (tidak memenuhi syarat kesehatan)akan mengakibatkan berkurangnya konsentrasi oksigen dan bertambahnya konsentrasikarbondioksida yang bersifat racun bagi penghuninya. Disamping itu, tidak cukupnyaventilasi akan menyebabkan peningkatan kelembaban ruangan karena terjadinya prose spenguapan cairan dari kulit dan penyerapan. Kelembaban ruangan yang tinggi akan menjadi media yang baik untuk tumbuh dan berkembang biaknya bakteri‐bakteri patogen termasuk kuman tuberkulosis.
Selain itu, fungsi kedua ventilasi adalah untuk membebaskan udara ruangan dari bakteri‐bakteri, terutama bakteri patogen seperti tuberkulosis, karena di situ selalu terjadialiran udara yang terus menerus. Bakteri yang terbawa oleh udara akan selalu mengalir.
Selain itu, luas ventilasi yang tidak memenuhi syarat kesehatan akan mengakibatkanterhalangngya proses pertukaran aliran udara dan sinar matahari yang masuk ke dalamrumah, akibatnya kuman tuberkulosis yang ada di dalam rumah tidak dapat keluar dan ikutterhisap bersama udara pernafasan
3. Suhu Rumah
Suhu adalah panas atau dinginnya udara yang dinyatakan dengan satuan derajat tertentu. Suhu udara dibedakan menjadi:
1). Suhu kering, yaitu suhu yang ditunjukkan oleh termometer suhu ruangan setelah diadaptasikan selama kurang lebih sepuluh menit, umumnya suhu kering antara 24 – 34ºC;
2) Suhu basah, yaitu suhu yang menunjukkan bahwa udara telah jenuh oleh uap air, umumnya lebih rendah daripada suhu kering, yaitu antara 20‐25 ºC.
Secara umum, penilaian suhu rumah dengan menggunakan termometer ruangan.
Berdasarkan indikator pengawasan perumahan, suhu rumah yang memenuhi syaratkesehatan adalah antara 20‐25 ºC, dan suhu rumah yang tidak memenuhi syarat kesehatanadalah < 20 ºC atau > 25 ºC Suhu dalam rumah akan membawa pengaruh bagi penguninya.suhu berperan penting dalam metabolisme tubuh, konsumsi oksigen dan tekanan darah.
Lennihan dan Fletter (2003), mengemukanan bahwa suhu rumah yang tidak memenuhi syarat kesehatan akan meningkatkan kehilangan panas tubuh dan tubuh akan berusaha menyeimbangkan dengan suhu lingkungan melalui proses evaporasi. Kehilangan panas tubuh ini akan menurunkan vitalitas tubuh dan merupakan predisposisi untuk terkena infeksi terutama infeksi saluran nafas oleh agen yang menular.
Sedangkan menurut Goul & Brooker (2003), bakteri mycobacterium tuberculosa memiliki
rentang suhu yang disukai, tetapi di dalam rentang ini terdapat suatu suhu optimum saat mereka tumbuh pesat. Mycobacterium tuberculosa merupakan bakteri mesofilik yang tumbuh subur dalam rentang 25‐40 º C, akan tetapi akan tumbuh secara optimal pada suhu 31‐37 º C
4. Pencahayaan Rumah
Pencahayaan alami ruangan rumah adalah penerangan yang bersumber dari sinar matahari
(alami), yaitu semua jalan yang memungkinkan untuk masuknya cahaya matahari alamiah, misalnya melalui jendela atau genting kaca (Depkes Ri, 2006; Notoatmodjo, 2008)
.
Cahaya berdasarkan sumbernya dibedakan menjadi dua jenis, yaitu:
a. Cahaya Alamiah
Cahaya alamiah yakni matahari. Cahaya ini sangat penting, karena dapat membunuh bakteri‐bakteri patogen di dalam rumah, misalnya kuman TBC (Notoatmodjo, 2003). Oleh karena itu, rumah yang cukup sehat seyogyanya harus mempunyai jalan masuk yang cukup (jendela), luasnya sekurang‐kurangnya 15 % ‐ 20 %. Perlu diperhatikan agar sinar matahari dapat langsung ke dalam ruangan, tidak terhalang oleh bangunan lain. Fungsi jendela disini selain sebagai ventilasi, juga sebagai jalan masuk cahaya. Selain itu jalan masuknya cahaya alamiah juga diusahakan dengan genteng kaca.
b. Cahaya Buatan
Cahaya buatan yaitu cahaya yang menggunakan sumber cahaya yang bukan alamiah, seperti lampu minyak tanah, listrik, api dan lain‐lain. Kualitas dari cahaya buatan tergantung dari terangnya sumber cahaya (brightness of the source).
Secara umum pengukuran pencahayaan terhadap sinar matahari adalah dengan menggunakan lux meter, yang diukur ditengah‐tengah ruangan, pada tempat setinggi < 84 cm dari lantai, dengan ketentuan tidak memenuhi syarat kesehatan bila < 50 lux atau > 300 lux, dan memenuhi syarat kesehatan bila pencahayaan rumah antara 50‐300lux.
Menurut Lubis dan Notoatmodjo (2008), cahaya matahari mempunyai sifat membunuh bakteri, terutama kuman mycobacterium tuberculosa. Menurut Depkes RI (2004), kuman tuberkulosa hanya dapat mati oleh sinar matahari langsung. Oleh sebab itu, rumah dengan standar pencahayaan yang buruk sangat berpengaruh terhadp kejadian tuberkulosis. Menurut Atmosukarto dan Soeswati (2003), kuman tuberkulosis dapat
bertahan hidup pada tempat yang sejuk, lembab dan gelap tanpa sinar matahari sampai bertahun‐tahun lamanua, dan mati bila terkena sinar matahari, sabun, lisol, karbol dan panas api. Menurut Girsang (2006), kuman mycobacterium tuberculosa akan mati dalam waktu 2 jam oleh sinar matahari; oleh tinctura iodii selama 5 menit dan juga oleh ethanol 80% dalam waktu 2‐10 menit serta mati oleh fenol 5% dalam waktu 24 jam. Menurut Atmosukarto & Soeswati (2005), rumah yang tidak masuk sinar matahari mempunyai
resiko menderita tuberkulosis 3‐7 kali dibandingkan dengan rumah yang dimasuki sinar matahari.
5. Kepadatan Penghuni Rumah
Kepadatan penghuni adalah perbandingan antara luas lantai rumah dengan jumlah anggota keluarga dalam satu rumah tinggal. Persyaratan kepadatan hunian untuk seluruh perumahan biasa dinyatakan dalam m² per orang. Luas minimum per orang sangat relatif, tergantung dari kualitas bangunan dan fasilitas yang tersedia.
Untuk perumahan sederhana, minimum 10 m²/orang. Untuk kamar tidur diperlukanminimum 3 m²/orang. Kamar tidur sebaiknya tidak dihuni > 2 orang, kecuali untuk suami istri dan anak dibawah dua tahun.
Apabila ada anggota keluarga yang menjadi penderita penyakit tuberkulosis sebaiknya tidak
tidur dengan anggota keluarga lainnya.
Secara umum penilaian kepadatan penghuni dengan menggunakan ketentuan standar minimum, yaitu kepadatan penghuni yang memenuhi syarat kesehatan diperoleh dari hasil bagi antara luas lantai dengan jumlah penghuni > 10 m²/orang dan kepadatan penghuni tidak memenuhi syarat kesehatan bila diperoleh hasil bagi antara luas lantai dengan jumlah penghuni >10 m²/orang.
Kepadatan penghuni dalam satu rumah tinggal akan memberikan pengaruh bagi penghuninya. Luas rumah yang tidak sebanding dengan jumlah penghuninya akan menyebabkan perjubelan (overcrowded). Hal ini tidak sehat karena disamping menyebabakan
kurangnya konsumsi oksigen, juga bila salah satu anggota keluarga terkena penyakit infeksi,
terutama tuberkulosis akan mudah menular kepada anggota keluarga yang lain.
Menurut penelitian Atmosukarto dari Litbang Kesehtan (2000), didapatkan data bahwa :
1)rumah tangga yang penderita mempunyai kebiasaan tidur dengan balita mempunyai resiko terkena TB 2,8 kali dibanding dengan yang tidur terpisah;
2) Tingkat penularan TB di lingkungan keluarga penderita cukup tinggi, dimana seorang penderita rata‐rata dapat menularkan kepada 2‐3orang di dalam rumahnya;
3) besar resiko terjadinya penularan untuk tangga dengan penderita lebih dari 1 orang adalah 4 kali dibanding rumah tangga dengan hanya 1 orang penderita TB.
6. lantai rumah
lantai rumah merupakan faktor resiko terjadinya penyakit TBC. Lantai tanah memiliki peran terjadinya penyakit TBC melalui kelembapan ruangan. Lantai perlu dilapisi dengan semen yang kedap air agar ruangan tidak lembab. Lantai yang lembab dapat memperpanjang masa viabilitas atau daya tahan hidup kuman TBC dalam lingkungan.
Lingkungan tempat kerja.
Lingkungan tempat kerja juga sangat mempengaruhi penyebaran penyakit TBC, dimana lingkungan kerja yang kurang kebersihan dan sirkulasi udara yang buruk akan menjadi faktor penyebaran kuman TBC.
Tindakan mencegah bahaya penyakit paru kronis karena menghirup udara yang tercemar
debu para pekerja tambang, pekerja semen dan sebagainya Lingkungan sosial Perilaku sebagian masyarakat yang beranggapan bahwa penyakit TBC merupakan penyakit yang memalukan, sehingga tidak mau segera mengunjungi pelayanan kesehatan sehingga seger mendapatkan pengobatan juga termasuk salah satu penyebab peningkatan perkembanagn penyakitTBC. Selain itu ada masyarakat yang masih memiliki adat istiadat yang kental dan terkadang masih ada yang percaya dengan kekuatan gaib memngangap penyakit TBC di sebabkan karena adanya kekuatan gaib, sehingga penderita TBC melakukan pengobatan tradisional. Masyarakat masih lebih banyak berfokus pada pengobatan dibandingkan terhadap upaya pencegahan terhadap penularan penyakit tubercolosis.
Tuberkulosis pada kehamilan
Kehamilan dan tuberculosis merupakan dua stressor yang berbeda pada ibu hamil.
Stressor tersebut secara simultan mempengaruhi keadaan fisik mental ibu hamil. Lebih dari 50 persen kasus TB paru adalah perempuan dan data RSCM pada tahun 1989 sampai 1990 diketahui 4.300 wanita hamil,150 diantaranya adalah pengidap TB paru.
Efek TB pada kehamilan tergantung pada beberapa factor antara lain tipe, letak dan keparahan penyakit, usia kehamilan saat menerima pengobatan antituberkulosis, status nutrisi ibu hamil, ada tidaknya penyakit penyerta, status imunitas, dan kemudahan mendapatkan fasilitas diagnosa dan pengobatan TB.
Status nutrisi yang jelek, hipoproteinemia, anemia dan keadaan medis maternal merupakan dapat meningkatkan morbiditas dan mortalitas maternal.
Usia kehamilan saat wanita hamil mendapatkan pengobatan antituberkulosa merupakan factor yang penting dalam menentukan kesehatan maternal dalam kehamilan dengan TB. Jika pengobatan tuberkulosis diberikan awal kehamilan, dijumpai hasil yang sama dengan pasien yang tidak hamil, sedangkan diagnosa dan perawatan terlambatdikaitkan dengan meningkatnya resiko morbiditas obstetric sebanyak 4x lipat dan meningkatnya resiko preterm labor sebanyak 9x lipat. Status sosio‐ekonomi yang jelek,hypo‐proteinaemia, anemia dihubungkan ke morbiditas ibu.
Kehamilan dapat berefek terhadap tuberculosis dimana peningkatan diafragma akibat kehamilan akan menyebabkan kavitas paru bagian bawah mengalami kolaps yangdisebut pneumo‐peritoneum. Pada awal abad 20, induksi aborsi direkomondasikan pada wanita hamil dengan TB.
Selain paru‐paru, kuman TB juga dapat menyerang organ tubuh lain seperti usus, selaput otak, tulang, dan sendi, serta kulit. Jika kuman menyebar hingga organ reproduksi, kemungkinan akan memengaruhi tingkat kesuburan (fertilitas) seseorang. Bahkan, TB pada samping kiri dan kanan rahim bisa menimbulkan kemandulan. Hal ini tentu menjadi kekhawatiran pada pengidap TB atau yang pernah mengidap TB, khususnya wanita usia reproduksi.
Jika kuman sudah menyerang organ reproduksi wanita biasanya wanita tersebut mengalami kesulitan untuk hamil karena uterus tidak siap menerima hasil konsepsi.
Menurut Harold Oster mengatakan bahwa TB paru (baik laten maupun aktif) tidak akan memengaruhi fertilitas seorang wanita di kemudian hari. Namun, jika kuman menginfeksi endometrium dapat menyebabkan gangguan kesuburan. Tapi tidak berarti kesempatan untuk memiliki anak menjadi tertutup sama sekali, kemungkinan untuk hamil masih tetap ada. Idealnya, sebelum memutuskan untuk hamil, wanita pengidap TB mengobati TB‐nya terlebih dulu sampai tuntas. Namun, jika sudah telanjur hamil maka tetap lanjutkan kehamilan dan tidak perlu melakukan aborsi.
Pengaruh tuberkulosis terhadap janin
Menurut Oster, (2007) jika kuman TB hanya menyerang paru, maka akan ada sedikit risiko terhadap janin. Untuk meminimalisasi risiko,biasanya diberikan obat‐obatan TB yang aman bagi kehamilan seperti Rifampisin, INH dan Etambutol. Kasusnya akan berbeda jika TB juga menginvasi organ lain di luar paru dan jaringan limfa, dimana wanita tersebut memerlukan perawatan di rumah sakit sebelum melahirkan. Sebab kemungkinan bayinya akan mengalami masalah setelah lahir.
Penelitian yang dilakukan tentang efek TB ekstrapulmoner tuberkuosis, didapatkan hasil bahwa tuberkulosis pada limpha tidak berefek terhadap kahamilan, persalinan dan hasil konsepsi. Namun juka dibandingkan dengan kelompok wanita sehat yang tidak mengalami tuberculosis selama hamil mempunyai resiko hospitalisasi lebih tinggi (21% : 2%), bayi dengan APGAR skore rendah segera setelah lahir (19% : 3%), berat badan lahir rendah (<2500 div="div" gram="gram">2500>
Selain itu, risiko juga meningkat pada janin, seperti :
- Abortus,
- Terhambatnya pertumbuhan janin,
- Kelahiran prematur dan
- Terjadinya penularan TB dari ibu ke janin melalui aspirasi cairan amnion (disebut
TBcongenital).
Gejala TB congenital biasanya sudah bisa diamati pada minggu ke 2‐3 kehidupan bayi,seperti prematur, gangguan napas, demam, berat badan rendah, hati dan limpa membesar. Penularan kongenital sampai saat ini masih belum jelas,apakah bayi tertular saat masih di perut atau setelah lahir.
No comments:
Post a Comment