Kurangnya komunikasi yang baik antara dokter dengan pasien menjadi pemicu munculnya pengaduan malpraktik yang dilakukan dokter. Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) mengakui komunikasi yang gagal telah menjadi masalah tersendiri.
Akibatnya meski dokter sudah menjalankan tugas sesuai prosedur, namun pasien tetap merasa dirugikan karena hasil terapi tidak sesuai harapan.
Hingga Maret 2011, MKDKI telah melayani 127 pengaduan kasus pelanggaran disiplin yang dilakukan dokter atau dokter gigi. Dari angka terebut, sekitar 80 persen dipicu kurang komunikasi.
Keterampilan dokter dalam menyampaikan informasi menjadi kunci dalam situasi semacam ini. Jika dokter tidak cakap berkomunikasi, maka yang terjadi adalah kesalahpahaman yang berbuntut pada pengaduan oleh pasien baik ke MKDKI ataupun langsung ke meja hijau.
"Dalam satu kasus, bayi meninggal di ruang Neonatus Intensive Care Unit (NICU). Dokternya hanya bilang kekurangan oksigen, sehingga keluarga pasien tidak terima. Padahal maksud si dokter adalah ketidakmampuan paru-paru si bayi untuk menerima oksigen," ungkap pakar hukum Universitas Hassanudin, Dr Sabir Alwy, SH, MH dalam jumpa pers di Gedung Kementerian Kesehatan,
Seandainya yang terjadi adalah pasokan oksigen di ruang NICU habis, maka MKDKI bisa menilainya sebagai pelanggaran disiplin sehingga dokter yang bersangkutan bisa dikenai sanksi pencabutan izin. Namun karena yang terjadi hanya kurang komunikasi, MKDKI hanya akan memberikan teguran dan pembinaan.
Dr Sabir yang juga merupakan anggota MKDKI mengatakan, 80 persen pengaduan yang diterima MKDKI berawal dari kondisi gagalnya komunikasi ini. Tak heran dari 42 pengaduan yang sudah selesai ditangani MKDKI, hanya sekitar 50 persen yang diputuskan sebagai pelanggaran disiplin oleh dokter atau dokter gigi.
Sebaliknya menurut Dr Sabir, kadang-kadang pasien tidak mempermasalahkan hasil terapi yang tidak memuaskan ketika dokternya pandai berkomunikasi meski ada kemungkinan terjadi pelanggaran disiplin. Hanya saja karena pasien tidak melapor, angkanya tidak pernah terpantau oleh MKDKI.
"Sesuai tugas yang diatur Undang-undang, MKDKI hanya menerima pengaduan, pemeriksaan dan memutuskan kasus pelanggaran disiplin yang diajukan. MKDKI sifatnya pasif, jadi kalau tidak ada laporan dari masyarakat maka tidak ada penanganan," tambah Dr Sabir.
Sanksi Terberat Hanya Pencabutan Izin Sementara
Terhadap dokter yang terbukti melanggar disiplin, MKDKI bisa menjatuhkan sanksi disiplin sesuai derajat kesalahannya. Mulai yang paling ringan berupa teguran, kewajiban untuk menempuh pendidikan ulang hingga pencabutan izin secara permanen.
Namun diakui oleh Dr Sabir, hingga saat ini MKDKI belum pernah sekalipun menjatuhkan sanksi pencabutan izin secara permanen. Menurutnya, fungsi MKDKI adalah untuk pembinaan sehingga sanksi terberat hanya diberikan jika dokter yang melanggar dinilai sudah tidak mungkin dibina.
"Sekitar 30 persen hanya diberi sanksi pencabutan izin sementara, ada yang 2 bulan tapi juga ada yang sampai 4 bulan. Sanksi teguran tertulis sekitar 30 persen, sedangkan sisanya adalah reschooling atau kewajiban menempuh pendidikan ulang," kata Dr Sabir.
Dari sisi pembinaan, Dr Sabir menilai MKDKI cukup berhasil menjalankan fungsinya. Terbukti dari sekian kasus yang diputuskan bersalah dan dikenai sanksi, belum pernah ada pelanggaran berulang atau dilakukan oleh dokter yang sama untuk kedua kalinya.
No comments:
Post a Comment