Sudah menjadi pertanyaan umum kebanyakan pasien yang dirawat di rumah sakit, “kapan saya boleh pulang dok..?”. Bagaimana pun nyamannya di rumah sakit, kalau dirawat dan mondok berlama-lama tentu membuat si sakit jadi bosan, jenuh dan menjadi tidak nyaman lagi. Tidak nyaman bukan saja dari keadaan psikis, melainkan juga dari sisi keuangan,
ketergantungan akan bantuan orang lain -setidaknya untuk menemani di kamar- dan tanpa disadari akan mengurangi waktu produktif baik si pasien maupun orang terdekatnya.
Masalah lain yang juga merugikan kalau pasien dirawat berkelamaan di rumah sakit adalah merepotkan kerabat untuk membesuk. Hal ini memang tidak terlepas dari adat ketimuran kita, yang selalu ingin menunjukkan rasa empati dengan mengunjungi seseorang keluarga, sahabat atau kolega yang sedang dirawat di rumah sakit.
Lalu apa pertimbangan dokter untuk menahan atau memulangkan pasien dari status rawat inap? Perimbangannya ada beberapa. Yang pertama adalah kondisi fisik penderita secara umum. Ini menyangkut fungsi pernafasan, keadaan system peredaran darah dan suhu tubuh. Secara obyektif bisa diukur dari frekwensi nafas, tekanan darah, denyut nadi dan pengukuran suhu dengan thermometer. Bisa penderita merasakan baik-baik saja, tapi dari pengukuran pengukuran di atas didapatkan nilai yang meragukan, misalnya ternyata nafasnya sesak, tekanan darahnya masih rendah, denyut nadinya terlalu cepat dan panas badannya selalu di atas 38 derajat.
Untuk pasien yang dalam kondisi stabil, dengan nilai tanda vital (frekwensi nafas, tekanan darah, frekwensi denyut nadi dan temperature) masih dalam batas normal, belum tentu akan dipulangkan kalau tetap terganggu oleh keluhan. Keluhan tersebut dapat berupa rasa pusing, badan lemas, mual, muntah, diare atau rasa nyeri. Dan rasa sakit ini yang paling beresiko dikeluhkan oleh pasien pasca menjalani pembedahan.Walapun infus telah dilepas dan kondisi umum baik, tapi ketika penderita pasca operasi section cesaria berkata “…dok, kok perut saya terasa tak nyaman. Saya belum bisa buang angin sejak selasai operasi..” bisa akan menjadi pertimbangan penting sang dokter untuk tidak segera memulangkan pasien ini.
Ketepatan dosis obat dan hasil pemeriksaan lab merupakan pertimbangan lainnya. Pemberian obat injeksi terutama golongan antibiotika yang belum optimal dapat menghambat permintaan pasien untuk pulang dari rumah sakit. Misalkan juga pemberian khemotherapi dengan dosis tertentu. Bagi beberapa dokter dengan keahlian yang berbeda, tidak menutup kemungkinan patokan terhadap hasil laboratorium dapat menjadi pertimbangan utama. Pada penderita gagal ginjal yang menjalani cuci darah baik sebelum maupun setelah pembedahan, hasil nilai laboratorium fungsi ginjal dijadikan sebagai indikator keberhasilan. Contoh lain, seorang dokter ahli Penyakit Dalam akan berpedoman pada hasil pemeriksaan tombosit dan hematokrit darah untuk memantau perkembangan pasiennya yang dirawat karena penyakit demam berdarah.
Terutama untuk pasien bedah yang memerlukan perawatan luka khusus, menentukan juga apakah pasien tersebut bisa dipulangkan ataukah tetap memerlukan perawatan di rumah sakit. Pasien yang baru beberapa hari menjalani operasi dan di lukanya masih terpasang drain tentu dibutuhkan waktu yang tepat untuk melepaskan drain tersebut. Apalagi luka yang memerlukan evaluasi tiap hari, akan ada fase tertentu dimana lukanya dinilai sudah bisa dikerjakan secara rawat jalan. Atau bisa juga perawatan luka itu dijalankan dengan kunjungan rumah oleh petugas kesehatan. Dan sejak itulah pernderita sudah diijinkan untuk beralih menjadi pasien rawat jalan.
Di samping pertimbangan tersebut, pada keadaan tertentu pasien ‘terpaksa’ dikeluarkan dari rumah sakit dengan tujuan untuk mendapatkan pelayanan yang lebih baik yang belum dimiliki oleh rumah sakit bersangkutan. Mekanisme ini disebut juga rujukan. Jadi pasien yang memerlukan penanganan yang lebih -baik dari tenaga dokter maupun fasilitas penunjang- mengharuskan sang dokter dari satu rumah sakit mengirim atau merujuk pasiennya ke rumah sakit lainnya (rumah sakit rujukan).
Di luar pertimbangan medis, beberapa hal mungkin dapat menjadi bahan pertimbangan. Seorang dokter untuk menahan atau memperbolehkan pulang pasiennya dari ruang rawat inap rumah sakit. Seorang ibu yang baru melahirkan dan mendapatkan bayinya dalam keadaan sakit yang mesti dirawat, mau tidak mau sang ibu pun sebaiknya tidak meninggalkan rumah sakit. Contoh lain, misalnya atas permintaan pasien yang sedang menunggu jaminan asuransinya sedang diproses, meminta agar dokter tidak memulangkan pasien tersebut.
Begitu sebaliknya, dengan alasan biaya, ingin pindah rumah sakit atau alasan lain, seorang pasien yang seharusnya belum diijinkan oleh sang dokter harus terpaksa pulang pada waktu yang belum saatnya boleh pulang. Memang dilemma, namun keduanya memiliki nilai kemanusiaan. Kejadian ini diistilahkan dengan “pulang Paksa”. Pulang paksa merupakan hak pasien dan sebelum memutuskan hal tersebut seharusnya pasien dan kelurga telah mendapatkan penjelasan tentang resiko yang mungkin terjadi jika si penderita dipaksa pulang. Dan untuk ini pihak rumah sakit biasanya memiliki blangko khusus yang diisi dan ditandatangani oleh pihak pasein sebagai tanda bukti bahwa menolak perawatan di rumah sakit tersebut memang atas kemauan pasien atau keluaganya sendiri.
No comments:
Post a Comment