Ilmu pengobatan merupakan tradisi warisan nenek moyang bangsa Indonesia. Selain diturunkan secara lisan, metode pengobatan tradisional tersebut mereka catat dalam naskah-naskah. Sayangnya, karena tidak banyak dimanfaatkan dalam ilmu pengobatan, bentuk kearifan lokal itu terancam punah bersama hancurnya alam yang sebenarnya anugerah.
Tersebutlah seorang balian (penyembuh) bernama Buddha Kecapi di Pulau Bali. Ia dikenal mampu menyembuhkan berbagai penyakit. Suatu ketika, sang balian bertemu penyakit aneh yang tak bisa ia sembuhkan.
Sang balian merasa gagal. Ia pun bersemadi di setra (makam), meminta petunjuk para dewa. Singkat cerita, Dewa Siwa mengutus istrinya, Dewi Uma, agar turun ke Bumi untuk mengabulkan permintaan sang balian. Seusai dirajah lidahnya, sang balian mendapat petunjuk dari Dewi Durga (perwujudan dari Dewi Uma setelah turun ke Bumi) tentang filosofi hidup- mati, aksara suci, dan berbagai hal soal penyembuhan penyakit.
Sejak itu, kemampuan Buddha Kecapi kian meningkat. Hanya kematian yang tak bisa ia atasi. Sang balian memanfaatkan tanaman, hewan, dan air untuk membuat resep pengobatan.
Itulah sepenggal narasi naskah Usada Buddha Kecapi. Naskah yang tertulis di atas 80 lembar daun lontar ini tersimpan di Gedong Kirtya, daerah Singaraja, Bali. ”Buddha Kecapi merupakan dokumentasi pengobatan tradisional yang ditulis dalam bentuk karya sastra,” kata I Ketut Jirnaya, Dosen Jurusan Bahasa dan Sastra Jawa Kuna, Fakultas Sastra Universitas Udayana, Bali, Jumat (7/10), di Denpasar.
Jirnaya adalah ahli filologi yang banyak meneliti naskah kuno Bali terkait tradisi pengobatan. Perbedaan Buddha Kecapi dengan naskah Usada lain adalah naskah itu berisi ilmu pengobatan disertai uraian ilmiahnya.
Ada filosofi dan diagnosa penyakit sebelum balian memberi obat tradisional. Catatan usada lain lebih berisi resep praktis pengobatan. ”Sampai sekarang orang Bali masih percaya betul bahwa penyakit disebabkan dua hal, akibat kuman penyakit atau roh leluhur. Balian harus bisa membedakan,” kata Jirnaya.
Naskah Sunda
Catatan ilmu pengobatan Nusantara tak hanya ditemukan pada naskah kuno Bali. Masyarakat kuno di daerah lain juga menuliskannya.
Salah satunya, masyarakat Sunda kuno yang punya catatan Kumpulan Mantra, Paririmbon, dan Petangan. Pada naskah Kumpulan Mantra dari Jampang Kulon, Sukabumi, ditemukan 189 mantra yang 20 di antaranya mantra terkait pengobatan, seperti membasmi wabah penyakit, membuang racun, dan menyembuhkan penyakit cacar.
Pada seminar ”Pengobatan Tradisional dalam Naskah Nusantara” yang diadakan Perpustakaan Nasional Jakarta, akhir September lalu, Ruhaliah, dosen dan peneliti pernaskahan dan tradisi lisan dari Universitas Padjadjaran Bandung, mengatakan, teks naskah Sunda ditulis berbahasa Sunda dan Jawa. Sebagian mantra disertai doa berbahasa Arab.
Dalam pengobatan, masyarakat tradisional Sunda dan Jawa sangat memperhatikan waktu dan peristiwa terkait siklus manusia. Masing-masing siklus mempunyai cara pengobatan yang berbeda.
Nama siklus dan cara pengobatannya tertulis dalam Paririmbon (Sunda) atau Primbon (Jawa). Primbon atau paririmbon masih digunakan.
”Dalam khazanah naskah Sunda terdapat informasi dari berbagai jenis penyaktit, obat, dan mantra yang digunakan dan ritual penyembuhan. Masyarakat masa kini bisa memanfaatkannya untuk meneliti tanaman-tanaman obat yang digunakan agar berkembang menjadi pengobatan modern,” kata Ruhaliah.
Naskah-naskah berisi ilmu pengobatan juga ditemukan di Sumatera Barat dan Aceh. Ratusan naskah di Sumbar ini oleh para peneliti disebut Naskah Minangkabau. Di Aceh, naskah pengobatan yang banyak diteliti adalah naskah kuno dari Pidie.
Selain naskah lontar atau kitab, sumber tertulis lain, seperti prasasti, tidak menyebut spesifik tanaman obat dan kegunaannya. Secara arkeologis, prasasti adalah piagam resmi kerajaan yang dipahat di batu/lempengan logam.
Dalam prasasti disebut beberapa tanaman, terutama pada prasasti Jawa Kuno. Ismail Lutfi dari komunitas budaya Pandu Pusaka Malang, Jawa Timur, mengungkapkan, nama tanaman ini muncul dalam lima konteks, yaitu sebagai sima atau penetapan suatu daerah, daftar komoditas perdagangan, mencatat peristiwa hukum, jenis-jenis pajak, dan anugerah raja.
Tanaman sebagai komoditas perdagangan inilah yang diduga tanaman obat-obatan. Jadi komoditas karena dibutuhkan banyak orang. Salah satu tanaman yang tertulis dalam prasasti Jawa Kuno adalah wungkudu (mengkudu), bawang, pisang, dan lada.
Data terkini menunjukkan, ada 40.000 lebih jenis tumbuhan di dunia, 30.000 di antaranya di Indonesia. Data baru Perpustakaan Nasional menunjukkan, ada 9.600 spesies tanaman berkhasiat obat. Sayangnya, baru 300 jenis yang dimanfaatkan dan diproduksi sebagai ramuan obat oleh industri obat.
Di dalam negeri, ketika ilmu pengobatan dunia barat dianggap membawa efek samping, orang kembali melirik pengobatan tradisional dari tanaman obat atau jamu. Sayangnya, justru klinik pengobatan tradisional China yang laris.
”Itu karena penelitian ilmu kedokteran China berbasis kekayaan alam mereka,” kata Arif Hartarta, peneliti kajian budaya dari Universitas Negeri Sebelas Maret, Solo, Jawa Tengah.
Institut Pertanian Bogor (IPB) juga mulai meneliti tumbuhan dan manfaatnya bagi kesehatan.
Upaya saintifikasi tanaman berkhasiat obat di Indonesia mendesak dilakukan agar warisan budaya tidak punah. Tantangan muncul ketika hutan terus digunduli yang berakibat mematikan tanaman berkhasiat obat. Ketika tanaman obat langka, kemampuan menyembuhkan, seperti para balian Buddha Kecapi, akan tak berguna.
Oleh Lusiana indriasari, http://health.kompas.com/
No comments:
Post a Comment