Sebuah studi yang disiarkan jurnal Sleep edisi 1 Maret menunjukkan bahwa kerap tidur siang dikaitkan dengan meluasnya prevalensi diabetes type 2 dan glukosa yang terganggu di populasi lanjut usia masyarakat China.
Penelitian itu menemukan prevalensi diabetes type 2 tercatat 36 persen lebih tinggi di antara peserta yang melaporkan tidur siang sebanyak tiga sampai enam kali sepekan dan 28 persen lebih tinggi di antara mereka yang tidur siang setiap harinya.
Kaitan serupa ditemukan antara yang rusak. Kaitan yang ditemukan dalam studi itu tak berubah dalam analisis statistik yang mengeluarkan peserta yang berpotensi menderita gangguan kesehatan dan tidur pada siang hari. Hal ini mengisyaratkan kemungkinan kecil bahwa diabetes menyebabkan rasa kantuk pada siang hari dan menimbulkan kemungkinan bahwa tidur siang bisa jadi memperbesar risiko diabetes.
Menurut para peneliti tadi, tidur siang di China merupakan suatu norma sosial, yang dilakukan semua lapisan usia utamanya sebagai kebiasaan yang berawal sejak kecil. Di negara-negara Barat, tidur siang kurang lazim dan sering tak direncanakan dan dipicu oleh rasa kantuk yang mungkin dise)babkan penuaan, status memburuknya kesehatan atau keluhan pada malam hari.
Peran
Ketua tim riset Neil Thomas, PhD, penilai naskah epidemiologi di University of Birmingham, Inggris, mengatakan riset lebih lanjut perlu dilakukan untuk mengetahui apakah tidur siang itu sendiri memainkan peran kausatif dalam munculnya diabetes type 2, atau apakah ada berbagai faktor lain yang terlibat.
“Di banyak negara Barat non Mediterania suatu proporsi besar orang-orang yang tidur siang umumnya adalah warga lanjut usia atau mengalami berbagai kondisi lain yang menyebabkan keletihan dan menciptakan dorongan untuk tidur siang,” papar Thomas. “Dengan begitu, tidur siang bisa menjadi suatu penanda penyakit.”
Studi lintas sektor ini menganalisa data dasar dari Guangzhou Biobank Cohort Study, suatu kolaborasi antara Rumah Sakit Rakyat Guangzhou No 12 dan University of Birmingham dan Hong Kong University.
Studi berbasis komunitas itu dilakukan di Guangzhou, China tempat 19.567 peserta antara usia 50 hingga 93 tahun direkrut dari tahun 2003 hingga 2004 dan 2005 hingga 2006. Sampel itu terdiri atas 13.972 wanita pada usia 61,4 tahun dan 5.995 pria usia rata-rata 64,2 tahun.
Para peserta menjalani penelitian setengah hari yang meliputi wawancara tertata mengenai gaya hidup dan sejarah medis, dan penelitan fisikal. Frekuensi tidur siang yang dilaporkan sendiri diperoleh melalui daftar pertanyaan, dan diabetes type 2 diteliti dengan sampel glukosa darah yang puasa dan/atau laporan sendiri tentang diagnosis dokter pribadi atau pengobatan. Para peserta studi tersebut dimintai menjelaskan kebiasaan tidur siang mereka dan rasa kantuk pada siang hari.
Diidentifikasi
Diabetes typek 2 diidentifikasi dalam 13,5 persen dari sampel tadi dan lebih prevalen di antara orang-orang yang melaporkan tidur siang setiap harinya (15,1 persen) dan pada mereka yang tidur siang sampai empat hingga lima kali setiap pekan (14,7 persen). Model-model regresi logistik dibuat untuk mengetahui hubungan antara tidur siang dengan diabetes dan glukosa yang rusak, menyesuaikan demografik, gaya hidup, kebiasaan tidur, status kesehatan, lemak badan dan penanda metabolis.
Setidaknya satu tidur siang per minggu dilaporkan oleh 67,2 persen dari para peserta, lebih lazim di antara pria (76,4 persen) daripada wanita (63,6 persen). Sekira 59,4 persen dari orang-orang ini melaporkan tidur siang setiap hari. Total durasi tidur lebih lama dan rasa kantuk pada siang hari dilaporkan kurang sering terjadi di antara mereka pelaku tidur siang yang lebih sering daripada orang-orang yang tidak pernah tidur siang.
Dalam sub sampel 3.822 peserta yang dihubungi lagi untuk mendapatkan informasi tambahan tentang kebiasaan tidur terdapat trend signifikan kenaikan risiko diabetes dengan durasi tidur siang yang lebih lama. Dibandingkan dengan orang yang tak pernah tidur siang, risiko diabetes tercatat 41 persen lebih tinggi bagi mereka yang tidur siang lebih 30 menit dan 35 persen lebih tinggi bagi orang yang tidur siang selama 30 menit atau kurang dari itu.
Para peneliti mencatat, hubungan antara tidur siang dan diabetes ditemukan kendati adanya fakta bahwa orang-orang yang tidur siang melakukan kegiatan fisik berlevel lebih tinggi yang diketahui mengurangi risiko diabetes. Hal ini mengisyaratkan bahwa hubungan antara tidur siang dan diabetes mungkin lebih kuat jika saja tidak dipicu oleh pengaruh protektif aktivitas fisik.
Para periset menambahkan, akan ada implikasi kesehatan publik yang luas di China jika hubungan antara tidur siang dan makin besarnya risiko diabetes type 2 dikonfirmasikan dalam berbagai studi membujur karena negara itu kini terpengaruh oleh epidemi diabetes yang baru muncul.
Penelitian itu menemukan prevalensi diabetes type 2 tercatat 36 persen lebih tinggi di antara peserta yang melaporkan tidur siang sebanyak tiga sampai enam kali sepekan dan 28 persen lebih tinggi di antara mereka yang tidur siang setiap harinya.
Kaitan serupa ditemukan antara yang rusak. Kaitan yang ditemukan dalam studi itu tak berubah dalam analisis statistik yang mengeluarkan peserta yang berpotensi menderita gangguan kesehatan dan tidur pada siang hari. Hal ini mengisyaratkan kemungkinan kecil bahwa diabetes menyebabkan rasa kantuk pada siang hari dan menimbulkan kemungkinan bahwa tidur siang bisa jadi memperbesar risiko diabetes.
Menurut para peneliti tadi, tidur siang di China merupakan suatu norma sosial, yang dilakukan semua lapisan usia utamanya sebagai kebiasaan yang berawal sejak kecil. Di negara-negara Barat, tidur siang kurang lazim dan sering tak direncanakan dan dipicu oleh rasa kantuk yang mungkin dise)babkan penuaan, status memburuknya kesehatan atau keluhan pada malam hari.
Peran
Ketua tim riset Neil Thomas, PhD, penilai naskah epidemiologi di University of Birmingham, Inggris, mengatakan riset lebih lanjut perlu dilakukan untuk mengetahui apakah tidur siang itu sendiri memainkan peran kausatif dalam munculnya diabetes type 2, atau apakah ada berbagai faktor lain yang terlibat.
“Di banyak negara Barat non Mediterania suatu proporsi besar orang-orang yang tidur siang umumnya adalah warga lanjut usia atau mengalami berbagai kondisi lain yang menyebabkan keletihan dan menciptakan dorongan untuk tidur siang,” papar Thomas. “Dengan begitu, tidur siang bisa menjadi suatu penanda penyakit.”
Studi lintas sektor ini menganalisa data dasar dari Guangzhou Biobank Cohort Study, suatu kolaborasi antara Rumah Sakit Rakyat Guangzhou No 12 dan University of Birmingham dan Hong Kong University.
Studi berbasis komunitas itu dilakukan di Guangzhou, China tempat 19.567 peserta antara usia 50 hingga 93 tahun direkrut dari tahun 2003 hingga 2004 dan 2005 hingga 2006. Sampel itu terdiri atas 13.972 wanita pada usia 61,4 tahun dan 5.995 pria usia rata-rata 64,2 tahun.
Para peserta menjalani penelitian setengah hari yang meliputi wawancara tertata mengenai gaya hidup dan sejarah medis, dan penelitan fisikal. Frekuensi tidur siang yang dilaporkan sendiri diperoleh melalui daftar pertanyaan, dan diabetes type 2 diteliti dengan sampel glukosa darah yang puasa dan/atau laporan sendiri tentang diagnosis dokter pribadi atau pengobatan. Para peserta studi tersebut dimintai menjelaskan kebiasaan tidur siang mereka dan rasa kantuk pada siang hari.
Diidentifikasi
Diabetes typek 2 diidentifikasi dalam 13,5 persen dari sampel tadi dan lebih prevalen di antara orang-orang yang melaporkan tidur siang setiap harinya (15,1 persen) dan pada mereka yang tidur siang sampai empat hingga lima kali setiap pekan (14,7 persen). Model-model regresi logistik dibuat untuk mengetahui hubungan antara tidur siang dengan diabetes dan glukosa yang rusak, menyesuaikan demografik, gaya hidup, kebiasaan tidur, status kesehatan, lemak badan dan penanda metabolis.
Setidaknya satu tidur siang per minggu dilaporkan oleh 67,2 persen dari para peserta, lebih lazim di antara pria (76,4 persen) daripada wanita (63,6 persen). Sekira 59,4 persen dari orang-orang ini melaporkan tidur siang setiap hari. Total durasi tidur lebih lama dan rasa kantuk pada siang hari dilaporkan kurang sering terjadi di antara mereka pelaku tidur siang yang lebih sering daripada orang-orang yang tidak pernah tidur siang.
Dalam sub sampel 3.822 peserta yang dihubungi lagi untuk mendapatkan informasi tambahan tentang kebiasaan tidur terdapat trend signifikan kenaikan risiko diabetes dengan durasi tidur siang yang lebih lama. Dibandingkan dengan orang yang tak pernah tidur siang, risiko diabetes tercatat 41 persen lebih tinggi bagi mereka yang tidur siang lebih 30 menit dan 35 persen lebih tinggi bagi orang yang tidur siang selama 30 menit atau kurang dari itu.
Para peneliti mencatat, hubungan antara tidur siang dan diabetes ditemukan kendati adanya fakta bahwa orang-orang yang tidur siang melakukan kegiatan fisik berlevel lebih tinggi yang diketahui mengurangi risiko diabetes. Hal ini mengisyaratkan bahwa hubungan antara tidur siang dan diabetes mungkin lebih kuat jika saja tidak dipicu oleh pengaruh protektif aktivitas fisik.
Para periset menambahkan, akan ada implikasi kesehatan publik yang luas di China jika hubungan antara tidur siang dan makin besarnya risiko diabetes type 2 dikonfirmasikan dalam berbagai studi membujur karena negara itu kini terpengaruh oleh epidemi diabetes yang baru muncul.
No comments:
Post a Comment